Nafasku terpatah-patah, aku sudah sangat lelah seperti seorang renta yang menunggu tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal, yang sesungguhnya kaki tak pernah melangkah kemanapun. Aku hanya bisa terus berbaring sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung buliran-buliran air mata yang menunggu giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur dan kini aku bermimpi...
Ayahku berdiri dalam nuansa yang indah namun begitu asing bagiku. Aku mencoba memanggilnya, tapi suaraku tersumbat dikerongkonganku yang kering. Sudah lama sekali air tidak melewati mulutku. Hanya selang infus itu yang terus menembus tangan kananku selama ini. Terlihat lagi gambaran ketika ayah meninggalkanku dan ibu...
“Ayah harus keluar negeri”, kata ibu padaku suatu malam.
“Untuk apa?”, kataku.
“Untuk bekerja”, sahut ayah. “Ayah janji tidak akan pergi lama, kamu bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di kalender tempat kerja ayah setiap hari, dan tanpa kamu sadari ayah sudah akan kembali kesini”.
“Ayah janji?”, kataku memasang wajah tak percaya.
Ayah mengangguk mantap, ibu tersenyum melihat tingkahku. Lalu aku mengantarkan ke Bandara dengan berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender ayah. Tetapi ayah pergi begitu lama, sampai aku kelelahan menunggu dan mencoreti kalender seperti pinta ayah. Aku mulai menangis dan marah pada ibu, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak makanan bahkan minuman. Aku juga enggan berbicara, termasuk pada teman-temanku. Sampai suatu hari ibu mengatakan kalau ayah tidak akan pulang lagi.
“Ayah sudah terbang ke surga”, kata ibu. Sejak itu aku sangat membenci angka. Aku tidak mau ada kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa indah itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari dan menajamkan pandanganku, tapi percuma. Dihadapanku nuansa berganti menjadi demikian putih dan penuh oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa dingin. Sesosok lelaki dewasa nampak berjalan menembus kabut menuju padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku untuk duduk, lelaki itu bercerita tentang langit dan menyebut-nyebut surga. Aku teringat ayah..
“Apa ayahku disana?”, Tanyaku pada lelaki itu.
“Benar”, Jawabnya.
“Dimana?”
“Di langit ke tujuh”
“Apa kita bisa kesana?”, Tanyaku tak sabar.
“Kelak kita akan kesana, tapi ada syaratnya”
“Apa syaratnya?” Sahutku semangat.
“Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu, kalau tidak kau tidak akan sampai ke tempat ayahmu karena kau akan tersasar”
“Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung, aku benci angka-angka!”, Kataku berteriak.
“Di langit kau juga bisa menghitung bintang-bintang”
“Aku tidak mau menghitung langit atau apapun!”
“Percayalah, kau akan menyukainya”
“Untuk apa menghitung bintang-bintang?”
“Mungkin disana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang”
“Benarkah?”
Lelaki itu mengangguk, aku memeluknya tanpa ragu. Suasana hening mengurung kami berdua. Tak ada suara apapun ditempat ini kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang sudah cukup lama ini terasa sangat lemah.
“Apa kita bisa menghitung suara ini?”, Kataku menunjuk bunyi jantungku.
“Ya, tentu saja. Kau akan menyukainya”
“Apa suara ini akan berbunyi selamanya?”
“Tidak, dia akan berhenti kalau kau sudah mati”
“Mati? Ke surga seperti ayahku?”
“Ya”
“Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu dengan ayah?”
“Tentu saja”
“Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi”, Kataku pelan.
“Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya”
“Jangan beritahu ibu kalau aku mati, berjanjilah untuk diam, seperti yang dilakukan ibu dulu saat ayah pergi”
Tiba-tiba lelaki itu lenyap dari pandanganku. Aku tidak lagi dalam dekapannya. Suasana yang putih berkabut berganti dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang sama sekali belum pernah aku temui.
Saat itu di kejauhan aku kembali melihat sosok ayah berdiri sendiri. Kali ini dia mantap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan berjalan menujunya. Tapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus sampai semuanya semakin tak tampak olehku. Aku menghentikan langkah dengan kecewa. Aku teringat ibu, kalau setelah ini aku harus pergi maka semuanya yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum matiku.
Kulihat ibu duduk disamping pembaringanku. Matanya teduh, tapi berkaca-kaca. Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi dan jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur, sesekali berteriak menyapa ibu tapi dia tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau tak akan percaya bu, aku bertemu ayah dalam mimpi!
Wajah ibu terlihat sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, lihat! ayah datang lagi. Dengan cepat aku menenggelamkan diri dalam gambaran mimpiku.
Di belakangku ayah merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu yang tak tertawarkan lagi. Nafasku sudah sangat total terengah-engah, melelahkan, aku sudah tidak kuat lagi. Kemudian semuanya terpastikan, seseorang diatas kepalaku menarik sesuatu dari tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu cepat, sangat cepat, hingga membuatku tercekat. Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayah sudah memelukku erat. Sementara kulihat ibu menangis di ujung pembaringanku. Dokter mencabut selang infusku.
Aku berteriak, “Ibu, aku rindu padamu!”, tapi lagi-lagi kau tidak mendengarku bu, melainkan hanya bisa terus menangis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar